Masuk di kawasan wisata Tanjung Bira, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, kita akan disuguhi pemandangan yang indah. Pantai ini merupakan pesona panorama alam pesisir pantai tropis yang sempurna di ujung selatan sulawesi. Pantai yang membujur dari utara hingga selatan di dibatasi oleh bukit karang kokoh.
Di jalur dua terdapat banyak penjual cederamata yang dibuat dari limbah laut. Di pantainya yang indah terdapat pasir putih halus. Banyak kegiatan yang cukup menarik yang dapat dilakukan salah satunya adalah bersnorkeling. Dengan menyewa spead boat tempat penyewaan yang ada disini. Tempat bersnorkeling ataupun diving terbaik dapat ditemukan di pulau kambing dan pulau liukang dapat yang ditempuh hanya 14 menit saja dari basecamp. Beragam jenis hard coral dan soft coral dapat anda temukan serta beranekaragam biota laut seperti penyu dan warna warni ikan karang. Jika tidak menyenangi snoarkeling, kita bisa bermain pasir atau naik banana boat.
Di sebelah timur dari lokasi wisata ini terdapat hutan yang ditumbuhi berbagai macam jenis pohon. Di ujung Pantai Bira, terdapat tempat yang disebut Panrang Luhu. Penamaan dari bahasa daerah setempat, (konjo,red) yang berarti kuburan orang Luwu. Tempat ini disakralkan untuk dikunjungi orang yang masih berdarah Luwu.
Menemukan lokasi makam ini tidak gampang. Jalanan nampak tidak sering dilalui sehingga tumbuhan liar menjolor kejalan dan dikhawatirkan dapat menggores mobil yang anda tumpangi.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua kilometer,anda bisa sampai ke pemakaman ini. Dari tempat ini anda bisa melihat jelas Pulau Kambing dan Kabupaten Kepulauan Selayar serta Feri saat melintasi dari Pelabuhan Bira menuju Kabupaten Kepulauan Selayar. Dari atas bukit ini terlihat pantai Bira yang indah.
Pada jaman pemerintahan Datu atau Payung Luwu legenda ini mengalir tanpa dibatasi oleh kaidah sejarah dan metodologinya yang rumit.
Dalam wilayah kedaulatan Kerajaan Luwu, tersebutlah seorang ratu bernama Sengkawana. Ratu yang cantik dan rupawan ini bernasib malang. Saat ia mengandung suaminya meninggal dunia. Sejak putranya lahir, ia hanya mencurahkan semua kasih sayang kepadanya. Tanpa pertimbangan baik dan buruk, segala keinginan pangeran kecil ini diturutinya.
Kasih sayang berlebihan itu menyebabkan anak semata wayangnya menjadi nakal. Hingga pada suatu puncak kenakalannya, sang ratu amat berang dan tak mampu mengontrol emosi. Diambilnya gayung tempurung lalu dipukulkan pada kepala puteranya. Darah mengalir dari bekas pukulan itu, sang anak kecewa karena tidak menyangka jika ibu yang selalu memanjakannya tega memukulnya sekeras itu. Sambil meraba lukanya, ia melarikan diri ke hutan.
Sang ratu menyesal dengan perbuatannya itu. Sebagai pemimpin kerajaan sebagaimana sediakala, ia memerintahkan rakyatnya untuk mencari pangeran. Sayangnya, segala upaya yang dilakukan hasilnya nihil. Keberadaan anaknya tidak diketahui siapapun. Maka anak itu dianggap hilang atau kemungkinan besar telah meninggal dunia.
Duka cita melanda anak negeri itu selama beberapa waktu, terutama ibundanya. Namun putaran waktu demi waktu mengikisnya hingga menjadi suatu kenangan buruk belaka. Demikian pula halnya dengan sang ratu, iapun perlahan dapat memulihkan jiwanya, walaupun tak sepenuhnya. Anehnya, baginda ratu yang molek itu tetaplah cantik dan awet muda. Rupanya waktu telah bertekuk lutut atas ketegarannya menghadapi kesusahan hidup yang susul menyusul menerpanya.
Suatu hari, seorang pemuda yang rupawan dan tidak diketahui dari mana asalnya, bahkan namanya pun tidak diketahui, berkunjung ke negeri ini. Melihat Ratu Sangkawana, pemuda ini terpikat begitupula sang ratu. Keduanya akhirnya menikah dan dipersaksikan pada Dewata Seuwwae dengan dihantar do’a dan puja para penduduk negeri.
Tidak lama setelah pernikahannya, saat sang suami muda sedang berleha-leha menghabiskan waktunya bersama sang ratu. Ia tertidur dengan kepala berbantal pangkuan isterinya, kemudian rambutnya dibelai dengan penuh kasih sayang. Namun belum lagi angannya beranjak ke dunia mimpi, tiba-tiba ia terbangun. Setetes air mengalir lembut di keningnya. Kemudian alangkah terkejutnya, ketika mengetahui jika tetesan air yang menimpanya itu adalah air mata isterinya yang jatuh berderai. Isterinya yang cantik itu menangis dengan amat pilunya.
Iapun bertanya, apa yang membuat istrinya itu menagis. Ratu menjelaskan bahwa bekas luka dikepalanya mengingatkannya kepada putranya yang entah kini dimana. Bagai disambar kilatan petir, ingatan lelaki itu kembali seketika itu. Dari suatu bayangan samar yang mendekatinya, hingga menjadi wujud utuh yang jelas perihal sosok wanita yang kini telah dihadapannya.
Gemparlah seantero negeri Luwu perihal pernikahan tabu yang tidak disengaja. kabar itu sampai pula dihadapan Baginda Payung Luwu. Sesuatu yang dikenal dalam adat istiadat Luwu, yakni Ripaggenoi wennang cella’ (dikalungkan padanya benang merah). Maka jelaslah bahwa baginda menjatuhkan hukuman mati pada kedua ibu dan anak itu. Para panglima bergegas memerintahkan para pasukannya unuk menangkap suami isteri terlarang itu.
Keduanya menyingkir sejauh-jauhnya dari wilayah Tana Luwu. Mereka melakukan pelarian itu dengan menempuh perjalanan jauh nan sulit kearah selatan. Laskar Luwu tidak melepaskan begitu saja. Mereka melacak jejak keduanya, seraya melakukan pengejaran. Sesuai titah Baginda Payungnge yang juga perintah Dewata.
Hingga pada suatu hari, perjalanan menyusuri pinggir laut teluk Bone, keduan buronan itu tiba di suatu daerah perbukitan yang berada dipinggir laut. Pada suatu puncak bukit mereka melayangkan pandangannya jauh kearah selatan melewati garis horizon permukaan laut, mencari keberadaan Pulau Selayar, yang akan menjadi tujuan akhir pelariannya. Maka sejak itulah, kawasan itu dinamai Bonto Tiro. Setelah menemukan arah menuju ke penyeberangan menuju Pulau Selayar, mereka meneruskan perjalanannya kearah selatan, menuju titik akhir perbatasan perairan teluk Bone.
Tempat pertemuan itu terletak pada sebuah tanjung yang dikenal Tanjung Bira. Pada tebing ujung paling timur Bulukumba itulah akhirnya keduanya melepaskan lelah dan penat selama beberapa waktu sembari mencari perahu untuk menyeberang. Namun belum lagi mendapatkan tumpangan perahu ke Selayar, para prajurit Luwu yang diperintahkan menghabisi keduanya berhasil menemukan mereka. Maka dengan perasaan putus asa, ibu dan anak itu menerjunkan diri pada jurang tebing yang terjal. Pusara pertemuan antar tiga perairan yakni Teluk Bone, Laut Flores dan Selat Makassar terkenal ganas itu, menunggu dengan suara gemuruhnya. Para pasukan Luwu mengagap keduanya telah tewas.
Prajurit melakukan perjalanan kembali ke Tana Luwu, dan melaporkan perihal pelaksanaan tugasnya kepada Sang Junjungan. Namun mereka tidak tahu jika sesungguhnya kuasa menyelamatkan keduanya dari kebuasan pusaran yang menelannya.
Sejak selamat dari maut itulah, karakter sang ratu yang malang itu berubah. Ia yang lembut kini menyimpan dendam yang teramat dalam pada segenap orang-orang Luwu, tanpa kecuali. Ia bersama puteranya menetap pada ujung tebing itu. Dengan kesaktiannya, ia dapat mengendalikan cuaca sekitarnya serta merubah susunan gugusan karang pada celah perairan itu. Ia juga bisa mendatangkan pusaran maut setiap saat yang dikehendakinya. Target satu-satunya adalah segenap orang Luwu yang melewati perairan itu. Jazad orang-orang Luwu yang menjadi korbannya terkadang ada yang terdampar pada pantai timur, tidak begitu jauh dari kawasan kekuasan Karaeng Loheta. Maka masyarakat Bira menguburkannya dengan baik di pantai itu juga, hingga dikenal sebagai Panrang Luhu.
Sejak saat itu, celah tanjung itu menjadi kawasan angker. Maka keberadaanya di kawasan itu menjadikannya dikenal oleh orang-orang Bira dengan sebutan Karaeng Loheta, sesuatu yang sesungguhnya berasal dari kata Karaeng Luhuta (Pertuanan Luwu kita).
Makam yang berada di tanjung bira ini, menurut cerita yang dikisahkan, terdapat dua kuburan. Namun menurut informasi dari masyarakat sekitar hanya makam Sangkawana yang ada di tebing ini. Lain pula dengan Andika Mappasomba yang juga budayawan, katanya, ini hanya simbol. Keberadaan jasad dikuburan itu samasekali tidak ada.
Cerita lain yang berkembang di masyarakat, kononnya ini adalah makam Baso Kunjung Barani yang merupakan keturunan raja luwu. Baso Kunjung Barani memiliki adik yang cantik jelita bernama Samindara. Keduanya diasingkan sejak kecil dengan dibekali pengasuh masing-masing. Agar kelak ketika mereka bertemu dapat saling mengenal sepasang guci emas menjadi penanda, si laki-laki mendapatkan penutup gucinya dan si perempuan mendapatkan wadahnya. Dengan maksud kelak Baso Kunjung barani yang mencari adiknya itu.
Baso Kunjung Barani terdampar di Tanjung Bira dan Samindara terdampar di Lembang, Kecamatan Ujung Loe. Saat keduanya bertemu kembali, mereka tidak saling mengenal dan kecantikan Samindara membuat Baso Kunjung Barani jatuh hati. Setelah disampaikan kepada pengasuhnya yang dianggapnya ayah oleh Baso Kunjung Barani, akhirnya dilamarlah samindara. Karena tidak memiliki apa-apa ia hanya membawa tutup guci emas yang menjadi harta satu-satunya sebagai maharnya. Pengasuh Samindara, melihat itu sangat kaget namun ia tidak menceritakannya kepada Baso Kunjung Barani. Tanpa alasan, pinangan Baso Kunjung Barani ditolak.
Tidak menyerah Baso kunjung Barani terus melamar pujaan hatinya itu dan berkali-kali pula ditolak oleh pengasuh Samindara. Akhirnya Baso Kunjung Barani menari pa'dissengeng (Ilmu) yang dapat membuat Samindara jatuh hati.
Sakit hati ditolak, perasaan Baso Kunjung Barani berubah menjadi dendam. Setelah tamat berguru dengan orang pintar ia kembali ke rumah Samindara. Berkat ilmu yang telah dipelajarinya, Samindara jadi tergila-gila kepada Baso Kunjung Barani dan ingin terus berada disisinya. Bahkan saat Baso Kunjung Barani meninggalkannya dengan perahunya, Samindara mengejarnya dan berenang sampai keperahu Baso Kunjung Barani. tanpa belas kasihan, Ia tidak menghiraukannya sampai akhirnya Samindara meninggal. Saat itulah pengasuhnya menceritakan mengapa lamarannya selalu ditolak. Setelah mengetahui hal itu, Baso Kunjung Barani menyesal dan kembali ke Tanjung Bira.
Tempat ini sesungguhnya tempat yang indah sekaligus cukup menyeramkan. Sebuah patahan tebing yang menyerupai pulau kecil menjadikan perairan itu bagai suatu celah sempit yang amat berbahaya. Dari ketinggian lebih 100 meter, terdengar arus gelombang tak beraturan bagai mengaum tiada henti. Dalam setiap beberapa jam, senantiasa muncul pusaran air besar yang tengahnya menghitam bagai sumur besar, siap menelan apapun yang dapat dijangkaunya.
Hingga tahun 70-an, dari tulisan yang dibuat Oddang, kawasan ini adalah tempat transit para pelaut Bugis dari perairan Teluk Bone yang hendak melintasi perairan itu menuju Selat Makassar di pantai barat. Mereka melabuhkan kapalnya pada lepas pantai berpasir putih itu, kemudian menyerahkan kapalnya pada orang-orang Bira untuk “menyeberangkannya” hingga di Pantai Barat. Adapun halnya Nakhoda Bugis beserta awaknya, “memilih” berjalan kaki sejauh 2 km ke Pantai Barat untuk mendapatkan kembali perahunya menuju perairan Selat Makassar. Demikian pula sebaliknya bagi Perahu Bugis dari arah sebaliknya.